"Pertiwi, Berdoalah kepada Tuhan. Kau terlihat sangat khawatir."
Senyum Ibu selalu saja membuat hatiku merasa nyaman. Memang benar. Saat ini, kekhawatiranku sedang mencapai klimaksnya. Batinku penuh dengan keraguan. Maklum saja, hari ini adalah hari penentuan. Dibandingkan dengan mereka, teman-teman sekolahku dulu, aku memang anak yang tergolong cukup pandai. Ibu juga sepertinya bangga padaku. Sayangnya, kenyataan itu belum mampu membendung kegelisahan yang menggema di tubuhku. Pengumuman siswa-siswi yang diterima di sekolah ini akan diberitahukan sebentar lagi. Ya langkahku menuju masa depan semakin dekat. Dan ketakutakanku semakin menjadi saja. Bukannya aku takut masa depan, hanya saja waktu berjalan begitu cepat. Sangat cepat.
"Berkelilinglah sebentar. Kau butuh udara segar."
Aku menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku akan mengikuti sarannya. Kenapa tidak ? Ibu selalu tahu apa yang terbaik untukku. Setidaknya hingga saat ini selalu begitu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku melenggang pergi.
Sekolah ini cukup luas gumamku. Aku melangkah menyusuri koridor. Ubin demi ubin kulewati dengan perhatian penuh. Pandanganku menari-nari di suatu kelas yang bermandikan cahaya matahari. Jendela yang terbuat dari kaca, menghiasi kelas itu. Origami burung kertas berwarna biru, kuning, ping, dan hijau membuat diriku tak jemu memandang pintu tua rapuh yang masih sanggup berdiri melindungi kelas. Semua terlihat sempurna. Ruangan itu seolah menarikku. Memaksaku untuk masuk. Sedetik yang lalu aku putuskan masuk. Namun sedetik kemudian aku urungkan niatku. Sayangnya rasa ingin tahu yang mengalir dalam darahku mendorong tubuhku untuk membuka gagang pintu. Sehingga jadilah diriku masuk ke dalam kelas itu. Dan ada seseorang disana. Seorang gadis berkerudung kuning yang tak kukenal. Ia sibuk dengan burung-burung kertas. Sungguh tak enak hati untuk mengganggunya. Ketika aku menjauh, sepertinya saat itulah dia menyadari kehadiranku.
"Mau bergabung ?" Tanyanya sembari menyunggingkan senyum.
"Ehm, Ya. Jika kau tak keberatan tentunya." Kini aku tak perlu ragu untuk mendekatinya. Aku melewati beberapa meja sebelum aku tiba di tempatnya.
"Pertiwi." Kuulurkan tanganku dengan penuh semangat. Dia menjabat tanganku. Namun jawabannya sungguh mengejutkanku.
"Apalah arti sebuah nama. Silahkan duduk." Hanya sekejap ia menatapku. Sesaat kemudian, kembalilah jari-jari lentiknya menunjukkan kebolehan bermain origami.
Aku terkejut. Tentu saja. Hei. Aku memperkenalkan namaku. Dan kuharap dia juga begitu. Sadarlah Pertiwi, tidak semua hal sesuai dengan apa yang kau harapkan. Aku terus menggerutu dalam hati.
"Apa yang kau lakukan disini ?" Tanyanya tanpa melirik ke arahku.
"Aku ? Oh aku sedang menunggu pengumuman penerimaan siswa baru. Kau juga kan ?" Bagus. Dia mulai mengacuhkanku.
"Kau boleh berpikir begitu, semua orang punya pendapat masing-masing kan ?"
Gadis ini sangat aneh. Apa susahnya sih menjawab pertanyaanku ? Tinggal menjawab iya atau tidak kan ? Kalau ia bersekolah disini. Aku tidak akan berbicara dengannya lagi. Merepotkan.Tiba-tiba ia memalingkan wajahnya ke arahku.
"Kau terlihat aneh. Apa yang kau cemaskan ? Apa kau takut dengan hasil tes ini ?"
Aneh ? Aku ? ia yang aneh. Aku menahan nafas saat itu juga. Tercengang. Diam seribu bahasa. Hanya itu yang bisa kulakukan. Gadis ini sangat sulit ditebak. Tadi ia sama sekali tak menghiraukanku. Sekarang ia berbicara seolah ia peduli padaku. Bahkan ia menatapku seperti telah mengenalku cukup baik.
"Wajahmu sudah menjawaban pertanyaanku. Apa kau sudah belajar dengan baik ?" Kali ini ia sungguh menatapku.
"Ya." Cukup jelas aku mengatakannya.
"Apa kau sudah berdoa ?"
"Tentu saja." Aku sedikit membentak. Ingin rasanya kembali ke beberapa menit lalu dan memutuskan untuk tidak masuk ke ruangan ini.
"Kalau begitu, biarkan Tuhan yang menentukan." Ia tersenyum kecil ke arahku. Matanya yang bercahaya menunjukkan ketulusan.
Aku tak tahu bagaimana merespon ucapannya. Sejak awal perbincangan kami hingga detik ini. Tak satupun kata-katanya yang terlintas di pikiranku sebelumnya. Tapi entah mengapa, apa yang baru saja terujar dari bibirnya yang mungil itu, menenangkanku. Aku serius. Perasaan yang cemas kini sudah lebih tenang. Tidak ada lagi rasa takut. Samar-samar dari kejauhan, aku mendengar suara ibu yang memanggilku. Aku harus segera menemuinya.
"Maafkan aku, tapi aku tidak bisa berlama-lama disini. Ibuku mencariku dan aku harus. ." Belum juga aku menyelesaikan kalimatku. Ia memotongnya.
"Pergilah. Semoga berhasil."
Aku menatapnya dalam. Inikah perpisahan ? mungkin iya. mungkin juga tidak. tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ini. Aku segera berlari meninggalkan gadis itu. Aku mendatangi ibuku. Ibu memelukku dengan erat.
"Pertiwi, selamat nak. Kamu lolos." Basah. Pundakku terasa sedikit basah. Baru kusadari bahwa ternyata Ibu menangis. Aku menenangkannya. Aku mengusap kedua pipinya dengan sapu tangan. Wajahku yang memerah karna senang ini sudah cukup membuat ibu tertawa.
"Kau ini benar-benar tomat kecil kesayangan ibu." Dan sekali lagi ibu memelukku. Setelah itu ibu membawaku pulang. Ibu merangkulku keluar sekolah. Dan dari balik jendela. Dapat kulihat dengan jelas sosok gadis itu. Ia melambaikan tangannya ke arahku. Aku membalasnya dengan lambaian perpisahan.
***
Beberapa hari kemudian. Aku memulai lembaran baruku di sekolah. Aku teringat gadis itu dan mencarinya ke seluruh penjuru sekolah. Namun yang kudapati adalah nihil. Ketika bel masuk berbunyi. Aku segera memasuki ruang kelas yang ditujukan untukku. Dan ada sebuah kursi kosong disana. Untukku. Karena yang lain telah bertuan. Semenit kemudian aku telah berada di atas kursi itu. Aku merogoh bagian laci untuk membersihkannya. Dan yang kutemukan adalah burung kertas. Burung kertas berwarna kuning. Ketika kulihat dari samping, aku menyadari ada tulisan di balik burung itu.
"Aku berada di posisimu 3 tahun yang lalu. Aku sudah belajar dengan baik. Aku selalu berdoa tiap malam. Aku percaya dengan diriku sendiri. Tapi Tuhan berencana lain. Malam sebelum pengumuman, aku mengalami kecelakaan lalu lintas. Kau sungguh beruntung. Kau sudah belajar dengan baik. Kau selalu berdoa tiap malam. Dan Tuhan menyertaimu. Jika aku jadi kau. Aku tak akan pernah ragu untuk percaya pada diriku sendiri."
Tanpa sadar aku menitikkan air mata.
Sejak saat itu gadis berkerudung kuning selalu ada dalam hatiku. Sekarang dan selamanya.
0 komentar:
Post a Comment