Monday, September 19, 2011

#2 Demi Melisa

Kelas itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua meja dan kursi telah tertata rapi kecuali yang berada di sudut ruang. Buku-buku yang berserakan di atas meja, menyuarakan adanya kehidupan di ruang kelas itu.
Disana, gadis yang duduk di samping jendela rapuh sesungguhnya tidak benar-benar membutuhkan kelas ini. Namun jemarinya yang menggenggam pensil kayu seolah meyakinkan bahwa ia sedang bekerja. Ya, dia memang sedang bekerja.

"Melisa,aku mencarimu sedari tadi. Kemana saja kau ?" tanyaku sembari menutup pintukelas. Melisa menggigit bibir bawahnya dan menundukkan kepala.

"Mmm.. aku tidak ingat. Maksudku aku tidak sungguh-sungguh mengingat apa yang telah terjadi."Balas Melisa. Aku melirik jam tanganku lalu memandang ke luar jendela.

"Jam berapa sekarang ?" tanya Melisa.

"Sekarang sudah jam tiga sore. Apa kau...." belum juga aku menyelesaikan kalimatku, Melisa tersentak dan mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Jam tiga ? apa Kak Ditra sudah menjemputku ?" aku menyipitkan mataku dan tersenyum padanya.

"Tentu saja. Dia sudah menantimu sejak satu jam yang lalu." Melisa segera membereskan seluruh buku-bukunya dan beranjak dari bangku tua yang selalu membuatnya nyaman.

"Oh Bella, terimakasih telah mengingatkanku. Aku pergi." Aku hanya menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku mengerti. 

Aku dapat melihat seulas senyum kecil dari bibirnya sesaat sebelum ia berlalu. Aku memalingkan wajahku. Pandanganku menyapu inchi demi inchi ruang kelas. Aku pikir tempat ini cukup buruk untuk dijadikan kelas. Aku tidak mengerti mengapa pihak sekolah tidak memperbaharui gedung usang ini. Tapi sudahlah, itu bukan masalahku. Sejenak aku melongok ke arah pintu, kemudian aku berbalik dan lari.

"Kakak sudah lama menunggu ?" tanya Melisa dengan nafas terengah-engah.

"Menurutmu satu jam itu waktu yang singkat atau tidak ?" ucap Kak Ditra. Melisa mengangkat bahu sambil meringis memperlihatkan kawat giginya. Kak Ditra mendengus lalu tersenyum.

"Sudahlah, ayo kita pulang !" Kak Ditra merangkul pundak Melisa dan membawanya ke mobil. 
Sungguh kakak beradik yang sangat harmonis. Mengingat bahwa aku hanya memiliki seorang adik perempuan yang berselisih 3 tahun dariku.Dan sialnya, kami tak pernah akur.
Sebelum menutup pintu mobil, Kak Ditra menghampiriku. "Terima kasih telah menemani adikku."

"Oh, tak jadi soal. Aku senang melakukannya." Aku menatapnya dalam. Aku dapat melihat kasihnya kepada Melisa. Namun aku juga merasakan adanya kekhawatiran yang begitu besar. Entah apa itu, aku juga tak sanggup mencernanya.

***
Hari ini angin bertiup sangat kencang. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun,gumamku. Seperti biasa, aku selalu menunggu Melisa di gerbang utama sekolah kami. Aku harus menemani Melisa, itulah pesan Kak Ditra kepadaku. Selang sepuluh menit kedatanganku, aku mendapati Melisa turun dari mobil karimun silver milik kakaknya. Kak Ditra memandangku dengan tatapan bersahabat. Benar. Aku menyukai sikapnya itu.

"Bella, ayo kita ke kelas !" Agaknya ucapan Melisa yang secara tiba-tiba membuatku sedikit terkejut.

"Hei,apa yang kau lihat ? kau terus memandangi kakakku. Jangan-jangan.." Melisa melirik ke arahku dengan penuh selidik. Astaga, jangan lagi. Sudah cukup banyak gosip yang kuterima di sekolah ini.

"Melisa, sudah kubilang aku tidak menyukai siapapun saat ini, tak terkecuali kakakmu." Ujarku membela diri. Tanpa berbincang lagi kami segera memasuki gedung sekolah.

Aku berjalan mendahului Melisa. Setibanya kami di depan kelas, tiba-tiba semua mata teruju pada kami. Aku mengerutkan dahiku dan mulai memutar otak. Hei kawan, sebenarnya apa yang telah terjadi, pikirku. Aku berjalan menyusuri pandangan-pandangan waspada di sekeliling dan aku berhenti tepat di depan meja kami. Mataku terpusat pada sebuah kotak. Kotak kuning tak bertuan yang diletakkan di sana.
Melisa meremas lenganku. 

"Apa itu ?" Aku diam. Mematung selama beberapa saat. 

Namun aku beranikan diri untuk mengakhiri kebisuan yang terjadi. Perlahan tapi pasti, kuulurkan tanganku menggapai kotak itu. Aku membukanya dan..

"Aaa!!" Teriakan Melisa yang memekakkan telinga mengejutkan kami semua. 

Beberapa gadis terlihat pucat ketika melongok isi kotak itu. Sebuah surat dan bangkai tikus berlumur darah. Surat ? Bangkai tikus ? Benda-benda itu tidak dibutuhkan pada percobaan apapun. Ada yang tidak beres, gumamku. Jeri, ketua kelas kami segera memungut surat itu. Aku menahannya.

"Jika kita tidak selesaikan sekarang. Ini tak akan berakhir." Ujar Jeri dengan tegas. 
Aku kalah. Aku mengendurkan tanganku yang bersarang di lengannya. Jeri membuka lipatan kertas itu. Ia membelalakkan matanya ketika membaca kertas kumal yang berada di tangannya.

"Tulisan ini bertinta darah. Dan di sini tertulis, untuk Melisa tersayang." 
Pada saat yang hampir bersamaan, seisi ruangan menatap Melisa seolah menyudutkannya, kecuali aku. Aku tetap mengawasi kertas itu. Rangkulan Melisa di tanganku semakin menjadi.

"Jangan khawatir. Aku akan bereskan ini." Hanya itu yang bisa kukatakan untuk membuatnya tenang. 
Gemetar tubuhnya terlihat dengan jelas. Aku dapat merasakan debar jantung gadis ini. Berdebar kencang di bawah telapak tangannya. Sungguh malang gadis ini. 

Bel masuk berbunyi. Aku mengangkat kotak itu tinggi-tinggi.

"Jika aku tahu siapa pelakunya. Aku tidak akan memaafkannya." Pernyataan itu dengan tegas aku lontarkan. 

Lalu aku membuang kotak itu. Tepat. Kotak itu memang pantas untuk dibuang. Jeri melihatku daribalik pintu. Mungkin dia sekedar ingin tahu apa yang sedang aku lakukan, atau dengan kata lain dia ingin mengawasiku. Atau mungkin lebih tepatnya dia curiga padaku. Tak ada yang tahu tentang itu. Jemari Melisa terus menggandeng tanganku.

"Pulang sekolah nanti, kita ke toko buka ya." Aku mengalihkan bahasan supaya dia tak terlalu memikirkan kejadian barusan. Melisa mengangguk kecil. Perbincangan kami tak berlanjut karna Pak Danu, guru fisika kami telah tiba.


Langit tak berawan. Terik matahari tak menyengat. Suasana yang sangat pas untuk berjalan santai. Aku dan Melisa menyusuri jalan-jalan kecil kawasan pertokoan. Melisa terlihat gelisah.

"Mel, ada apa ?" Aku meletakkan tanganku di pundaknya.
Melisa mendongakkan kepala. 

"Aku merasa ada yang mengikuti kita sedari tadi." 

Aku mengamati sekeliling. Tak satupun sesuatunya mencurigakan. Aku melihat Melisa ragu. Aku yakin ia tak berpura-pura.

"Siapa itu ?" Sontak aku terkejut mendengar teriakan Melisa.

"Bella, ayo kita pergi !! mereka mengikuti kita !!" Dengan tiba-tiba Melisa meraih tanganku dan memaksaku mengikutinya.

"Melisa!!" Aku menghentikan langkahku. Kami saling berpandang dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Bella, mereka ingin mencelakai kita ! kita harus pergi !!" Jelas Melisa setengah memohon.

"Dengarkan aku. Tak ada yang mengikuti kita.Mungkin ini hanya khayalanmu saja !" Aku lepas kendali. Aku rasa kali ini aku cukup keras padanya. Kami terdiam.

Sudah berapa lama kami berdiri di sini ? sepertinya baru saja waktu berlalu begitu cepat tanpa sepengetahuanku. Tapi aku menikmati keheningan ini sesaat.

"Isabell.." Suara Melisa itu menembus benteng kabut hitam yang menyelimutiku. 
Aku mengangkat wajah dan menoleh dengan cepat. Nafasku tercekat ketika mendapati pipi Melisa telah basah karna bulir-bulir tangis yang turun perlahan dari pelupuk matanya. Melisa memandangku sayu. Berbagai macam perasaan membanjiri kalbuku. Dan tanpa kusadari, aku mulai terhanyut oleh kegalauan ini.

"Oh Melisa, maafkan aku. Aku tidak bermaksud.."

 "Tak apa." Jawab Melisa seraya mengabaikan permintaan maafku.

"Aku yang paling mengertimu. Kau pasti menganggapku aneh. Kak Ditra juga berpikir seperti itu." Aku tercengang mendengar tuduhannya.

"Apa ?" Aku mencoba meyakinkan pendengaranku. 

"Ya... kamu pasti menganggapku aneh !" Ulang Melisa dengan sedikit penekanan pada kata aneh.

"Melisa, jangankan menganggapmu aneh. Membayangkannya saja aku tak pernah." Tangisnya tak terbendung lagi. Aku melingkarkan lenganku di pundaknya.

"Aku akan mengantarmu pulang." Aku merogoh saku ranselku. Kuambil sehelai sapu tangan, lalu kuusap air matanya perlahan.Istirahat. Mungkin itu yang paling ia butuhkan. Setidaknya untuk saat ini. Dan sepertinya aku juga lelah. Cukup lelah.

***
Pikiranku kosong, karna memang hati kecilku sedang tidak ingin berpikir. Dan mungkin memang lebih baik aku tak berpikir. Kesadaranku melayang jauh ke awang-awang. Insiden siang itu membuatku kalang kabut semalaman. Bahkan tugas PKn-ku kubiarkan tak tersentuh sama sekali.

"Teng teng teng.." 

Suara bel menarikku kembali ke alam sadar. Tak pernah aku sebahagia ini ketika mendengar bel istirahat. Aku merapikan mejaku lalu melirik Melisa. Tatapannya kosong. Ia berdiri kemudian berjalan meninggalkan kelas. Ia tak mengucapkan sepatah katapun padaku. Saat aku ingin menyebut namanya, lidahku terasa kaku. Aku mengintip Melisa dari balik jendela. Ia duduk di taman sekolah, sendirian. Samar-samar kudengangar suaranya. Melisa tertawa dan berbicara. Tunggu. Melisa sendirian.Ia tak bersama siapapun saat ini. Dengan siapa ia bicara ? rasa penasaran mulai merayapi tubuhku. Namun keinginanku untuk menghampirinya dikandaskan oleh dering bel. Aku harus tetap di kelas sekarang.

Sampai pelajaran usai. Melisa tak kunjung kembali ke kelas. Ia tak lakukan ini sebelumnya. Ini tidaklah benar. Ada yang salah pada Melisa. Aku melongok keluar jendela. Melisa tetap di posisi yang sama. Tak bergerak. Tak beranjak. Setelah tanda pulang sekolah dikumandangkan. Aku segera berjalan, lalu aku mempercepat langkahku ke luar kelas. Inginku berlari dan menanyakan semua lelucon ini pada Melisa. Tetapi sepertinya aku tak bisa. Aku hanya mampu melihatnya dari kejauhan. Hingga Kak Ditra tiba. Namun Kak Ditra tidak langsung membawa Melisa. Ia menghampiriku terlebih dahulu di koridor.

"Bella, apa yang terjadi pada Melisa ?"

"Aku tak tahu. Semua berjalan begitu saja. Aku tak tahu mengapa,bagaimana ini bisa... dan..." aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Sekali lagi. Lidahku terasa kaku.

"Bella, aku ingin kau tahu sesuatu." 
Ucapannya sejenak menenangkan batinku. Aku memberi sinyal padanya untuk melanjutkan perbincangan kami.

"Melisa mengalami gangguan jiwa. Sejak kecil ia sering berbicara sendiri. Dia juga sering mendengar suara-suara yang sebenarnya tak sungguh ada." 
Aku terkejut. Jatungku seolah berhenti berdetak beberapa saat. Ya Tuhan, kenyataan macam apa ini.

"Karna itu aku memintamu menjaganya. Dia juga sering menjadi pribadi yang berbeda. Maksudku dia menjadi orang lain dan mungkin tak mengenalmu seperti sekarang ini." Lanjut Kak Ditra. 
Keringat mulai bercucuran dari tubuhku. Aku beranikan diri untuk mengungkap sesuatu.

"Beberapa hari yang lalu, aku melihat Melisa menulis. Menulis surat. Surat yang sama seperti surat teror yang diterimanya kemarin." 
Dengan gugup aku mengutarakan semua yang kutahu. Semuanya tentang Melisa yang selama ini bersemayam dalam benakku.

"Dia pernah lakukan itu. Bahkan sering. Dia sering lakukan itu." 
Aku tak percaya. Jadi Melisa membuat surat teror yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Mengalami halusinasi suara dan.. ya ampun. Aku benar-benar tak percaya pada kegilaan ini.

"Tapi aku bersyukur. Dia tak menyakiti diri sendiri." Tutur Kak Ditra sambil menghela nafas panjang.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah taman. Melisa menghilang. Tapi tadi ia di sana. Aku sungguh melihatnya di taman. Kemana perginya gadis itu ? Perasaan antara khawatir dan panik mulai menghantui aku dan Kak Ditra. Kami mencari Melisa. Mengelilingi sekoah. Tak boleh ada yang terlewat. Melisa harus kami temukan. Harus. Aku memanggil namanya. Kami berhenti di depan dinding perpustakaan. Darah. Jelas sekali itu darah. Ada darah di dinding dan ada tetesan darah di lantai. Kami mengikut jejak darah tersebut.

"Melisa!!"  Kami menyebut Melisa serentak ketika melihatnya tergeletak di depan ruang musik. 

Tangannya dingin sekali. Mengucur darah dari keningnya. Wajahnya pucat pasi. Aku tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Melisa memukulkan kepalanya ke dinding. Kepalanya sendiri. Kak Ditra menggendong Melisa dan segera membawanya ke mobil. Aku membawakan tasnya lalu kami pergi ke rumah sakit terdekat.

Kepalaku serasa berkabut. Tidak bisa berpikir apapun. Yang kutahu hanyalah saat ini aku harus selamatkan Melisa. Kami tiba di rumah sakit dengan cepat. Beberapa perawat berlari mengerumuni kami dan membawa Melisa. Aku mengikuti perawat-perawat itu. Mereka memasuki unit gawat darurat. Ruangan yang belum dapat aku masuki untuk saat ini. Aku terduduk lemas di kursi pengunjung. Tuhan, tolong selamatkanlah sahabatku. Air mata kini membasahi rok biru yang kukenakan. Entah sejak kapan Kak Ditra berada di sampingku tapi dia kini memang berada di situ. Aku merasakan sentuhan lembut di tangan kananku. Kak Ditra menggenggamnya. Menggenggam tangan kananku dengan perlahan.

"Semua akan baik-baik saja. Jangan khawatir." 

Kata-kata itu seperti membawa secercah cahaya harapan bagiku. Sebenarnya kalimat itu biasa saja. Tapi efek yang kuterima, tak biasa. Aku semakin tenggelam dalam tangisku. Kak Ditra membelai halus rambutku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Sepertinya aku mengantuk. Apa salahnya jika aku istirahat sejenak. Ini hari yang berat kan ? gumamku dalam hati. Aku pun tertidur.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah dua jam kami menunggu. Aku membuka mataku. Kuusap kedua mataku dengan punggung tangan. Rupanya Kak Ditra juga tertidur tadi. Dari ruang tempat Melisa berada, muncul dua orang berjas putih.Aku meyakini bahwa merekalah dokter yang menangani Melisa.

"Dokter, bagaimana keadaan Melisa ?" Tanyaku dengan ragu.

"Kondisinya sudah cukup baik. Keadaannya sudah mulai stabil. Ia telah melewati masa kritisnya." 
 Setitik cahaya yang tadi dicurahkan Kak Ditra kini menerangi batinku. Melisa baik-baik saja. Syukurlah.

"Kalau boleh tahu, apa anda keluarganya ?" Tanya salah seorang dokter dengan celana katun hitam.

"Oh bukan, saya sahabatnya. Dan itu kakaknya, Kak Ditra." 
Aku menunjuk ke arah Kak Ditra yang masih tertidur pulas. Sontak Kak Ditra terbangun begitu saja ketika mendengarku menyebut namanya.

"Bagaimana dengan adik saya, dokter ?"

"Tadi dia sempat berontak, lalu kami memberikan obat bius dosis rendah untuk membuatnya tenang." Jelas dokter lainnya. Setelah berbincang-bincang selama beberapa menit. Kak Ditra mengantarku pulang.

Kami tak saling bicara dalam mobil. Aku menghargai Kak Ditra. Mungkin dia sedang tak ingin ada gangguan dari manapun. Tiba-tiba mobil berhenti. Aku memandang sekeliling. Aku melihat hamparan sawah yang telah menguning.

"Ayo turun sebentar." Ajak Kak Ditra. Aku menurut saja apa katanya.

"Kita mengobrol di sini sebentar ya."

"Oh iya, tak apa-apa. Lagipula besok kan Minggu." Jawabku mengiyakan tawarannya.

"Bisakah kau terus menemani Melisa ?" Kak Ditra menatapku sungguh-sungguh.

"Selama ini aku juga terus bersamanya." Aku tersenyum padanya.

"Bukan itu maksudku, Bella." Kak Ditra terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Lalu apa maksud Kak Ditra ?"
"Setelah lulus nanti. Maukahkau terus menemaninya ? Aku rasa dia membutuhkanmu." Aku tak mengerti apa yang sebenarnya ia bicarakan.

"Kak, bukannya aku mau menolak. Tapi aku dan Melisa punya kehidupan masing-masing. Lagipula Melisa punya Kak Ditra. Menurutku itu sudah cukup." Aku menghela nafas. Kak Ditra menyeringai.

"Bodoh." Suara yang cukup pelan, tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas.

"Apa yang bodoh ? Aku bodoh ?" Tanyaku bertubi-tubi.

"Bukan kau tapi aku. Aku yang bodoh." 
Ekspresi wajahnya kini berubah menjadi lebih serius. Kak Ditra membenarkan kacamata silindernya. Aku semakin tak mengerti dengan alur pembicaraan kami.

"Aku bodoh. Aku bodoh karna menjadikan Melisa sebagai alasan." 
Kali ini dia menatapku jauh ke dalam. Kak Ditra melihatku dengan cara yang amat sangat kukenal.

"Bukan hanya Melisa yang membutuhkanmu. Jujur, aku lebih membutuhkanmu, Isabell." 
Wajahku memerah dengan sendirinya. Kak Ditra merogoh kantong celana. Dia membuka kepalan tangannya yang tertutup sedari tadi. Di sana terdapat seuntai kalung dengan cincin sebagai bandulnya.

"Kak Ditra." Tanpa sadar namanya menyeruak dari bibirku.

"Isabell, bersediakah kau mendampingiku ? menjaga Melisa untukku ? dan bersamaku selamanya ?" 

Aku memandang langit sore. Entah sejak kapan perasaan ini muncul. Tapi apa yang dilakukan Kak Ditra padaku saat ini, membuatku sadar. Aku tak bisa pergi meninggalkan Melisa dan Kak Ditra. Aku telah jatuh terlalu dalam dan aku tak bisa kembali. Aku menyunggingkan seulas senyum. Senyum yang menunjukkan bahwa aku bahagia. Ya, aku memang gadis yang paling bahagia di dunia ini. Karna aku memiliki orang-orang yang menyayangiku, termasuk Melisa dan Kak Ditra.

 ***

Sore ini matahari tenggelam seperti biasanya. Dan dengan menggenggam harapan kecil dari Kak Ditra, aku percaya esok fajar matahari akan terbit. Mewarnai hari-hariku bersamanya. Aku hanya bisa berharap harapanku tak hanya menjadi pengharapan yang cuma dapat diharapkan, tetapi lebih dari sekedar harapan. 

1 komentar: