"Tadi ada urusan mendadak. Tenang aja, udah selesai kok."
Sesaat kemudian aku melihat Adrian berjalan melewati kami. Kali ini aku benar-benar tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku terus memandanginya hingga ia berbelok di lorong dekat kantin.
Aku sungguh jatuh cinta padanya.
"Jangan lupa nafas." Santi mencolek pinggangku.
"Apaan sih San." Wajahku lagi-lagi memerah. Aku tidak dapat menyembunyikan perasaanku di depan Santi, gadis yang sudah bersahabat denganku sejak hari pertama sekolah.
"Apa bagusnya Adrian sih ? kayaknya biasa-biasa aja." Santi mulai menggodaku.
"Yang namanya cinta tu nggak bisa ditebak." Aku segera berlari menuju gerbang sambil tersenyum girang. Santi berlari mengikutiku.
Aku tidak terlalu ingat kapan perasaan ini mulai muncul. Yang jelas aku suka, ah tidak, mungkin sayang, atau mungkin juga cinta. Ya, aku cinta pada Adrian. Dia sangat baik padaku. Dia selalu membantuku di saat aku membutuhkannya. Aku harap dia memiliki rasa yang sama denganku.
Santi mengejarku hingga gerbang sekolah.
"Aku akan mengungkapkan perasaanku pada Adrian." Santi terlihat sedikit terkejut
"Kok mendadak banget sih ? kenapa nggak nunggu Adrian aja ?"
"Aku nggak mau nunggu lagi. Do'ain ya San." Dia hanya tersenyum. Kemudian aku segera berjalan pulang karna rumahku memang dekat dari sekolah.
Sampai di rumah, aku menyiapkan mental untuk menelpon Adrian.
"Haa.. halo, Adrian ?" aku pasti terdengar sangat gugup.
"Iya, kenapa Aya ? Ada perlu apa ?" suaranya merdu sekali.
"Ehm, gini, besok pulang sekolah kamu ada waktu nggak ? ada yang pingin aku omongin."
"Besok ? ya nggak apa-apa. di kantin aja ya."
"Oke, sampai ketemu besok ya Adrian." Aku menutup telepon. Jantungku berdegup sangat cepat.
Apa yang harus kukatakan padanya ya. Aku akan menyerahkan handuk berinisial namanya yang kujahit dengan tanganku sendiri. Aku tidak sabar menunggu esok datang.
***
Aku sudah siap. Apapun jawabannya aku akan menerimanya. Adrian sedang duduk sambil memainkan handphone-nya. Aku merapikan pakaianku lalu berjalan ke arahnya.
"Adrian." Aku berusaha berbicara sehalus mungkin.
"Oh, hai. Mau ngomong apa ?"
"Ehm." Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Iya ?" Dia berusaha meresponku.
"Aku suka kamu Adrian." Senyumku mengembang dan aku segera menundukkan wajahku.
Awalnya Adrian terdiam. Dia memandangiku. Kemudian ia menghela nafas dan aku melihatnya hendak berbicara.
"Aya, maaf. Aku nggak bisa."
Jawaban itu bagai petir yang menyambar tiba-tiba. Sesaat seluruh organ tubuhku seolah berhenti. Bukankah tadi sudah kukatakan aku siap dengan jawaban apapun ? Mataku panas. Rasa sedih memenuhi dadaku. Sepertinya aku akan mulai menangis. Tidak. Aku tidak boleh menangis disini. Tidak sekarang. Dia melanjutkan kata-katanya, tapi aku sudah tidak dapat mencernanya lagi. Aku tidak tahu apa yang ia bicarakan.
Aku tersenyum.
"Nggak apa-apa kok, aku cuma mau bilang aja. Nggak usah kamu pikirin ya. Ya udah, aku duluan."
Aku berlari meninggalkan Adrian tanpa kusadari aku lupa menyerahkan handuk yang telah kusiapkan. Aku harus memberikan handuk ini padanya. Kemudian aku berusaha menegarkan diriku dan kembali ke kantin. Langkahku terhenti saat aku melihat Santi. Dia bersama Adrian. Mereka duduk berdua. Adrian memegang tangan Santi. Tunggu. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin Santi melakukan ini padaku. Apa hubungan mereka ? Apa yang mereka lakukan di belakangku ? Apa yang tidak kuketahui ?
Aku berusaha mencuri dengar apa yang mereka katakan.
"Kamu nolak Aya ?"
"Iya, lagipula hubungan kita udah sejauh ini. Aku cuma sayang sama kamu Santi. Tapi kasihan juga ya Aya. Dia bener-bener berpikir aku suka sama dia."
"Dia sering nulis status tentang kamu juga lho. Gimana kalau seandainya Aya tetep berusaha ?"
"Ya udah biarin aja, toh yang ada di hatiku cuma kamu San. Usahanya nggak akan merubah apapun di antara kita."
Betapa bodohnya aku. Sahabatku, orang yang selalu mendengar ceritaku tentang Adrian, ternyata dia juga menyukai Adrian. Bahkan mereka sudah berhubungan sejauh ini. Tega. Kamu tega Santi. Aku nggak nyangka kamu sejahat ini sama aku. Kalian menertawakanku. Kalian pikir ini lucu ? Apakah perasaanku ini hanya sebatas bahan candaan kalian ?
"Adrian." Aku muncul di hadapan mereka berdua.
Mereka terlihat terkejut dengan kemunculanku.
"Ini, aku cuma mau ngasih ini aja kok." Aku memberikan handuk itu padanya.
Adrian menerimanya. Tangannya gemetar. Pasti karna tertangkap basah.
Aku tersenyum padanya. Lalu aku melihat ke arah Santi. Santi tertunduk enggan menatapku.
"Santi, Adrian. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi."
Mereka diam dan menatapku. Kemudian aku berbalik dan meninggalkan mereka.
"Aya." Santi memanggilku.
"Aku kira kita teman. Ternyata aku salah." Aku mengatakan itu dengan jelas.
Aku tak mau melihatnya lagi.
"Mengorbankan ? Seharusnya sebelum kamu bicara seperti itu padaku, gunakan otakmu. Dalam hubungan ini, siapa yang kalian korbankan ? Siapa ?"
Adrian hanya bisa diam. Ia tidak menjawab pertanyaanku.
"Jangan membuatku tertawa. Lihat baik-baik. Dalam hubungan ini siapa mengorbankan siapa ? Apa aku pernah memintamu untuk menyukaiku ? Apa aku pernah melarang orang yang pernah kukira sahabatku ini menyukaimu ?"
Emosiku mulai tidak terkendali.
"Enggak. Sekali, seandainya sekali aja Santi bilang kalau dia suka sama kamu, aku akan mengalah. Seandainya aku tau perasaanmu ke Santi, aku akan mengalah. Tapi apa yang kalian lakukan padaku ? kalian menghancurkanku ! kalian melakukan semua itu di belakangku ! Tepat di belakangku !"
Air mataku menetes membasahi wajahku.
"Dan sekarang kalian pikir kalian pantas berbicara denganku ? atas semua yang telah kalian lakukan ? kalian salah besar. Suatu saat akan kubuat kalian menyesal telah melakukan ini padaku sehingga bahkan kalian tidak diterima dimanapun !"
Aku meninggalkan mereka berdua. Samar-samar kudengar suara Adrian di sela-sela isak tangis Santi.
"Selamat pagi Bu Aya, ini ada calon karyawan yang sudah kami interview untuk bagian marketing. Tapi dia masuk dalam daftar hitam orang yang tidak boleh diterima. Namun saya kira dia bagus Bu, saya menunggu approval dari Ibu saja."
"Bawa dia masuk."
"Selamat pagi Bu, saya..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya.Wajah itu, aku tidak pernah melupakannya. Seorang pria tinggi dan berambut cepak. Adrian.
"Lama tidak bertemu ya, Adrian." Aku tersenyum melihat keadaannya saat ini.
"Iya. Apa kabar kamu Aya ?" Suaranya bergetar.
"Aku baik. Ya gini-gini aja sih. Aku mimpin perusahaanku sendiri. Multinational Company. Gimana kabar Santi ? Kayaknya aku pernah liat dia jualan kerupuk di pinggir jalan."
"Iya, dia dagang kerupuk sekarang." Adrian menundukkan wajahnya.
"Kamu mau kerjaan apa ? kami nggak ada lowongan yang cocok sama kualifikasi kamu."
"Kerja apa aja nggak apa-apa. Aku ditolak bekerja dimana-mana. Aku juga nggak tau sebabnya apa."
"Ehm, ada sih. Tapi jadi cleaning service, mau ?"
Adrian terlihat berpikir. Ia menghela nafas.
"Nggak apa-apa. Kapan bisa mulai kerja ?"
"Hari ini juga bisa. Oh iya, disini, aku direktur. Jadi jangan bersikap sok akrab. Aku nggak suka."
"Baik Bu."
Adrian meninggalkan ruanganku.
"Selamat pagi Bu. Bukannya tadi itu laki-laki yang Ibu katakan pada perusahaan-perusahaan lain mempunyai riwayat tindakan kriminal ? kenapa ibu menerimanya bekerja disini ?" Ujar Dewi sekretarisku.
Aku mengembangkan senyumku.
"Aya." Santi memanggilku.
"Aku kira kita teman. Ternyata aku salah." Aku mengatakan itu dengan jelas.
Aku tak mau melihatnya lagi.
***
Sudah beberapa hari sejak kejadian itu, aku tidak berbicara dengan Santi. Saat tugas kelompokpun aku sama sekali tidak mau melihat wajahnya. Memuakkan.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, aku segera bersiap-siap meninggalkan kelas. Tiba-tiba Santi menghampiriku.
"Aya, aku udah putus sama Adrian." Aku tetap sibuk memasukkan barang-barangku ke dalam tas ransel.
"Aya, aku nggak minta kamu untuk maafin aku kok."
Aku mengangkat wajahku, melihat matanya dalam-dalam.
"Tenang aja, aku tidak akan pernah memaafkanmu." Aku berdiri dan segera melenggang ke pintu kelas. Aku melihat Adrian di hadapanku. Setelah Santi, kini Adrian datang. Semua ini membuatku makin geram.
"Aya, Santi udah mengorbankan hubungan kami buat kamu. Setidaknya maafkan dia."
Kata-katanya membuatku ingin tertawa."Mengorbankan ? Seharusnya sebelum kamu bicara seperti itu padaku, gunakan otakmu. Dalam hubungan ini, siapa yang kalian korbankan ? Siapa ?"
Adrian hanya bisa diam. Ia tidak menjawab pertanyaanku.
"Jangan membuatku tertawa. Lihat baik-baik. Dalam hubungan ini siapa mengorbankan siapa ? Apa aku pernah memintamu untuk menyukaiku ? Apa aku pernah melarang orang yang pernah kukira sahabatku ini menyukaimu ?"
Emosiku mulai tidak terkendali.
"Enggak. Sekali, seandainya sekali aja Santi bilang kalau dia suka sama kamu, aku akan mengalah. Seandainya aku tau perasaanmu ke Santi, aku akan mengalah. Tapi apa yang kalian lakukan padaku ? kalian menghancurkanku ! kalian melakukan semua itu di belakangku ! Tepat di belakangku !"
Air mataku menetes membasahi wajahku.
"Dan sekarang kalian pikir kalian pantas berbicara denganku ? atas semua yang telah kalian lakukan ? kalian salah besar. Suatu saat akan kubuat kalian menyesal telah melakukan ini padaku sehingga bahkan kalian tidak diterima dimanapun !"
Aku meninggalkan mereka berdua. Samar-samar kudengar suara Adrian di sela-sela isak tangis Santi.
***
"Bawa dia masuk."
"Selamat pagi Bu, saya..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya.Wajah itu, aku tidak pernah melupakannya. Seorang pria tinggi dan berambut cepak. Adrian.
"Lama tidak bertemu ya, Adrian." Aku tersenyum melihat keadaannya saat ini.
"Iya. Apa kabar kamu Aya ?" Suaranya bergetar.
"Aku baik. Ya gini-gini aja sih. Aku mimpin perusahaanku sendiri. Multinational Company. Gimana kabar Santi ? Kayaknya aku pernah liat dia jualan kerupuk di pinggir jalan."
"Iya, dia dagang kerupuk sekarang." Adrian menundukkan wajahnya.
"Kamu mau kerjaan apa ? kami nggak ada lowongan yang cocok sama kualifikasi kamu."
"Kerja apa aja nggak apa-apa. Aku ditolak bekerja dimana-mana. Aku juga nggak tau sebabnya apa."
"Ehm, ada sih. Tapi jadi cleaning service, mau ?"
Adrian terlihat berpikir. Ia menghela nafas.
"Nggak apa-apa. Kapan bisa mulai kerja ?"
"Hari ini juga bisa. Oh iya, disini, aku direktur. Jadi jangan bersikap sok akrab. Aku nggak suka."
"Baik Bu."
Adrian meninggalkan ruanganku.
"Selamat pagi Bu. Bukannya tadi itu laki-laki yang Ibu katakan pada perusahaan-perusahaan lain mempunyai riwayat tindakan kriminal ? kenapa ibu menerimanya bekerja disini ?" Ujar Dewi sekretarisku.
Aku mengembangkan senyumku.
Yogyakarta, 9 - 10 Februari 2015
0 komentar:
Post a Comment