Monday, July 18, 2011

Cokelat Panas

Satu jam berlalu
Dua jam berlalu
Tiga jam berlalu
Sedikitpun aku tak berpindah dari meja di sudut ruang. Mataku terus terpaku pada lilin-lilin kecil yang menghiasi mejaku. Ya meja kecil dengan kotak kecil bertuliskan angka sepuluh yang kecil pula.

Pelayan lalu lalang melewatiku. Aku ingin mereka menuliskan cokelat panas di daftar pesanan. Sayang aku tak bisa, sungguh tak bisa. Memang sebelum kejadian dua tahun lalu, aku selalu memesan cokelat panas.

Cokelat panas. Dulu, ini sangat berarti. Mengingat hariku pertama jumpa dengan Riko. Di musim dingin yang dulu membekukan tubuhku dan juga jiwaku. Riko datang, membawakan cokelat panas untukku. Aku yang sendiri di dunia, tak mempercayai siapapun. Aku membenci semuanya. Tak pernah aku menikmati hidup. Namun cokelat panas dari Riko melelehkan hatiku yang telah mati rasa ini. Dia  mengajarkan aku bagaimana indahnya rasa percaya dan juga mengajarkan aku bahagianya cinta.
Benar, kesucian cinta.

Aku menerawang ke luar jendela. Menduga-duga bagaimana cuaca sore ini.
Akankah cerah seperti dahulu ?
Atau mungkin mendung sesaat kemudian ?
Atau bisa juga hujan badai laksana hatiku saat ini ?

Aku beranjak dari kursiku. Menghela nafas. Memantapkan langkah untuk keluar dari kafe itu. Aku meraih gagang pintu. Membuka pintu itu. Sejenak aku memalingkan wajahku menuju meja nomor sepuluh yang selalu aku tempati. Tiba-tiba seorang pria yang tak asing bagiku menempati meja itu. Riko. Riko datang. Ia menundukkan kepala. Samar, kudengar suaranya.

“Siska, kenapa kamu harus pergi ? kenapa ?”

Aku memandangnya dari kejauhan. Tanpa sadar aku menitikkan air mata,

“Maafkan aku Riko, tapi apa dayaku. Dunia kita sudah berbeda.” Aku menyunggingkan sebuah senyum termanis untuknya. Dan melangkah lebih jauh lagi. Pergi ke peristirahatan terakhirku.


Yogyakarta, 18 Juli 2011

0 komentar:

Post a Comment