Hujan kah ? tentu saja tidak.
Di saat segala umat terlelap oleh nyanyian rembulan. mereka tidak.
Dua peri kecil malah terjaga sambil merenung di puncak sebuah bangunan tua.
"Aku sedih." Peri pembawa cinta membuka pembicaraan.
"Apa pula sesuatu yang patut engkau sedihkan ? kau kan peri cinta. Seharusnya kau selalu bahagia karna membawa cinta pada manusia. Lihat aku. Aku peri pembawa takut. Aku yang membuat manusia takut, khawatir, serba salah sehingga gagal dalam cintanya." Ujar peri yang lain.
"Tapi karna aku membawa cinta, aku telah menghancurkan hidup seorang gadis. Membuatnya merana di masa muda." Peri cinta mulai terisak.
"Kau pikir aku tidak ? aku juga dihantui sesal. aku membuat seorang lelaki kehilangan sesuatu yang sesungguhnya berharga baginya. Sayang seribu sayang, dia belum menyadari itu." Timpal peri pembawa takut.
"Aaah, kau tidak mengerti." Makin mengeraslah tangis peri cinta.
"Tenanglah dulu. Coba kau ceritakan masalahmu. Siapa tau aku bisa membantu. Tapi setelah itu, kau harus dengarkan masalahku."
Peri kecil itu menghentikan tangisnya. Lalu tersenyum. Sesaat kemudian kembali murung. Setelah itu mengangguk.
"Begini, dua tahun yang lalu, aku menembakkan panah asmaraku pada seorang gadis. kubuat dia jatuh cinta pada seorang lelaki yang cukup baik menurutku. Tapi tak kusangka, lelaki itu menolak gadis pilihanku. Dan di luar dugaan. Gadis ini menjadi sangat menderita karna cintanya pada sang lelaki yang begitu besar. begitu kuat. begitu hebatnya sampai-sampai tak sanggup makan karna memikirkan pujaan hatinya itu. Melupakan perasaannya juga tak bisa. Aku menjadi gelisah, aku merasa sangat bersalah." Peri cinta kembali menangis.
"Kau ini, kenapa kau panahkan amunisi yang begitu kuat ? jadi berantakan begitu hasilnya. Sudah-sudah jangan menangis lagi. Apa mau dikata. Memang sudah begitu keadaannya. Perasaan tak bisa dipaksa." Jawab peri pembawa takut dengan kesal.
"Tidak membantu, malah menyalahkan aku. Huh. Kau begitu dingin. Bagaimana kau bisa punya masalah sedang kau begitu tak acuh ?" Peri cinta mulai menggerutu.
"Hei hei, jangan menghakimi aku seperti itu. Walau dingin dan ketus, aku masih punya perasaan."
Peri pembawa takut terlihat sedih hingga wajahnya memerah.
"Maafkan aku. Tak bermaksud aku menyakiti hatimu. Kalau begitu, sekarang ceritakanlah padaku, apa yang mengganjal di pikiranmu." Rayuan peri cinta memang tak dapat dielakkan.
"Aku begitu jahat. Dua tahun yang lalu kubuat seorang lelaki menjadi takut akan cinta. Takut memulai cinta dan takut menerima cinta. Padalah ada seseorang yang begitu memperhatikannya. Lelaki itu merasa bersalah sampai detik kukabarkan cerita ini padamu, karna menolak pengagumnya itu. Karna ia sadar, orang tersebut begitu mencintainya dengan sepenuh hati."
"Sudahlah. Bukan semua salahmu. Untuk menolak pengagumnya itu adalah keputusan sang lelaki. Jadi jangan kau salahkan dirimu sendiri. lagipula, perasaan tak bisa dipaksa." Peri cinta berusaha menghibur.
Keduanya terdiam. merenungi perasaan bersalah yang diderita masing-masing.
Tak lama kemudian, datanglah peri air mata.
"Sebal, sebal, sebal. Malam-malam begini, semua peri sudah beristirahat. Aku malah masih harus mendata laporan para air mata. Sebal deh."
"Memangnya siapa yang menangis tengah malam begini ? kurang kerjaan." Tutur peri pembawa takut.
"Ada dua air mata yang baru saja memberi laporan. Air mata yang pertama adalah air mata seorang gadis yang cintanya bertepuk sebelah tangan, padahal gadis itu begitu mencintai sang lelaki. Sedang air mata yang kedua adalah air mata seorang lelaki yang menyesal telah menolak seorang gadis yang sangat mencintainya. Kenapa sih tidak mereka bersama saja ?" Peri air mata mulai berpikir.
Sontak, kedua peri lainnya berkata secara bersamaan,
"Perasaan tak bisa dipaksa."
Kedua peri itu saling berhadapan.
Ketiga peri itu terdiam.
***
"Aku sangat mencintaimu, tak bisakah kita bersama ?"
"Aku, aku tak bisa melakukan itu padamu. Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri."
"Tapi tak sanggup aku melupakanmu. Semua tentangmu. Tak bisakah kau sedikit saja mencintaiku ?"
"Perasaan tak bisa dipaksa. Lupakanlah aku."
"Tak bisa."
"Kenapa ?"
"Perasaan tak bisa dipaksa."
Yogyakarta, 17 Januari 2012
Yogyakarta, 17 Januari 2012
0 komentar:
Post a Comment